Kalau ngomongin soal royalti dan hak cipta musisi, sekarang ada dua gerakan yang lagi jadi sorotan, VISI (Vibrasi Suara Indonesia) dan AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia).Keduanya sama-sama peduli dan bersuara lantang soal perbaikan sistem royalti musik Indonesia. Tapi, arah langkah mereka berbeda jalur.Mereka satu suara, sama-sama menyoroti LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) yang dianggap harus bertanggung jawab atas kekacauan sistem royalti selama ini. Tapi setelah dilihat lebih dalam, ternyata ada cukup banyak perbedaan. Baik dari gaya, strategi, sampai tujuan akhirnya.Pertama, soal sikap ke LMKNDi sinilah AKSI tampil lebih galak. Lewat ketua umumnya, Piyu, mereka secara terbuka menyuarakan, LMKN harus dibubarkan kalau gak bisa transparan. Pernyataannya gak setengah-setengah."Kalau gak sepakat, ya bubarkan saja LMKN. Lebih tepatnya begitu sih. Kita bukan nyari ribut, tapi minta keterbukaan. Karena ini menyangkut hajat hidup ribuan pencipta lagu di Indonesia," kata Piyu mewakili AKSI.Piyu juga menyoroti sumber biaya operasional LMKN yang katanya berasal dari uang royalti para pencipta lagu. Karena gak digaji pemerintah, maka menurut dia, LMKN wajib banget transparan ke para musisi."Kita gak bisa tekan pemerintah karena mereka gak gaji LMKN. Tapi LMKN hidup dari uang kita, para pencipta. Masa kita gak boleh nanya uangnya buat apa aja?" katanya.Dari nada dan isi omongannya, kelihatan jelas kalau AKSI pengin tuntas, transparan, dan tegas.Nah, beda lagi dengan VISI. Gerakan ini diisi oleh para musisi populer seperti Armand Maulana dan Ariel NOAH, yang cenderung lebih soft tapi tetap kritis. VISI juga dukung AKSI dalam menggugat LMKN, tapi masih pikir-pikir buat ikut melayangkan gugatan.Mereka pendekatannya lebih lewat edukasi ke masyarakat. Tujuannya agar publik paham bagaimana seharusnya sistem royalti dan regulasi yang berlaku.Tapi jangan salah, VISI juga tetap nuntut LMKN buat transparan kok, terutama dalam hal regulasi dan distribusi royalti. Jadi sama-sama menekan, tapi caranya aja yang beda.Kedua, strategi perjuangannyaDi akhir April 2025, VISI memilih jalur hukum. Mereka mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang Hak Cipta. Intinya, VISI ingin semua jelas, biar gak ada lagi musisi yang bingung atau tiba-tiba kena gugatan hukum gara-gara pakai lagu.Sementara itu, AKSI tetap konsisten dengan perjuangan mereka soal direct license alias izin pemakaian langsung dari pencipta lagu. Udah mereka gaungkan sejak 2023 dan masih jadi senjata utama mereka sampai sekarang, terutama untuk urusan konser dan performing rights. Buat AKSI, direct license ini sah dan sesuai dengan Undang-Undang.VISI resah soal direct license, meski lewat Armand Maulana, dia membantah menolak konsep itu. Armand menegaskan yang mereka tolak adalah proses penetapannya."Kita bukan anti-DDL. Kita cuma bilang, kalau mau pakai DDL, ya bicara dulu sama promotor. Karena mereka yang bayar. Kalau ketinggian, ya kasihan juga," ungkap Armand kepada detikpop, Kamis (3/7/2025).Baca juga: Piyu Tegaskan Lisensi Harga Mati: Mutilasi, Distorsi Itu Pelanggaran!Meski DDL sering dikampanyekan sebagai bentuk keberpihakan pada pencipta lagu kecil atau musisi yang terpinggirkan, Ariel NOAH menyebut kenyataan di lapangan justru sebaliknya."Gue tuh mau ngasih tahu, hati-hati konsekuensinya nih. Apalagi selama ini kan kampanyenya memperjuangkan si lemah katanya. Pencipta lagu yang kurang dapet duit," ujar Ariel."Tapi di mata gue, siapa yang paling banyak dapet duit dari ini? Orang-orang pemula, kalau mereka manggung di pensi, mau nyanyi lagu apa? Ya lagu yang terkenal. Yang gak terkenal, malah makin gak dinyanyiin orang karena mahal. Gitu logikanya."Ketiga, fokus narasinya juga bedaVISI lebih menyoroti sistem yang ketinggalan zaman. Mereka pengin sistem digital yang canggih, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan. Armand dkk merasa, kalau sistemnya gak update, bakal terus jadi masalah buat semua pihak.Sedangkan AKSI lebih vokal soal harga mati atas lisensi. Buat mereka, gak ada lagu dipakai tanpa izin dan tanpa bayar hak pencipta.Ini soal keadilan dan pengakuan terhadap hak cipta. AKSI menekankan kalau UU Hak Cipta itu dibikin buat melindungi pencipta, bukan cuma buat ngatur-ngatur sistem administrasi.Jadi kesimpulannya, VISI dan AKSI memang sama-sama punya niat baik buat benahin dunia musik Indonesia, terutama soal royalti. Tapi cara mereka beda.VISI lebih elegan dan legalistik, AKSI lebih frontal dan langsung ke akar persoalan, contohnya Ari Bias yang gugat Agnez Mo. Keduanya punya peran penting, walau beda jalan, tujuannya tetap sama: musisi Indonesia bisa hidup dari karya mereka sendiri.Sikap ke LMKNVISI: Kritis, tapi tidak minta dibubarkan
AKSI: Tegas, ingin dibubarkan jika tak transparanFokus PerjuanganVISI: Perbaikan sistem hukum & regulasi
AKSI: Penegasan hak pencipta & direct licenseMetode PerjuanganVISI: Uji materiil untuk revisi hukum