Di tengah megahnya Jakarta, masih ada sejumlah orang yang harus bertahan hidup di tempat yang tidak layak, salah satunya tinggal di kolong jembatan. Tempat yang identik dengan gelap, sumpek, dan bau itu tentu jauh dari kata nyaman.Salah satunya adalah Wendi. Pria yang berprofesi sebagai pemulung ini sudah tinggal selama tiga tahun di kolong jembatan Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Sebelumnya Wendi tidak memiliki tempat tinggal sehingga harus tidur di halte bus hingga emperan toko.Semenjak tinggal di kolong jembatan, Wendi mengaku merasa lebih aman daripada tidur di pinggir jalan. Selain itu, ia tak perlu khawatir akan kehujanan atau kepanasan karena terlindungi oleh beton dan rangka baja jembatan.Tim detikProperti berkesempatan untuk mengunjungi langsung tempat tinggal Wendi. Ia tidak tinggal di bawah jembatan layang (flyover) yang dibangun di atas jalan raya, melainkan kolong jembatan sungai yang di bawahnya terdapat Kali Ciliwung.Bau kali yang menyengat hidung tentu sudah jadi santapan sehari-hari. Bahkan, Wendi mengaku menggunakan air kali untuk mandi dan mencuci pakaian, tanpa khawatir memikirkan bakteri atau kuman yang menempel.Meski begitu, Wendi sebenarnya sudah berusaha untuk menyaring air Kali Ciliwung yang kotor dan bau agar bersih. Namun cara tersebut tidak membuahkan hasil karena masih tercium aroma tak sedap."Kalau mandi langsung dari air sini (Kali Ciliwung), buat nyuci baju juga. Disaring airnya, ya walaupun udah disaring ya namanya udah begini, ya udah deh dipakai aja," kata Wendi saat diwawancara detikcom, Kamis (3/7/2025).Namun, Wendi tidak menggunakan air dari Kali Ciliwung untuk kebutuhan memasak dan minum. Ia memilih membeli air mineral di warung-warung untuk melepas dahaga sekaligus dipakai memasak nasi, meski hanya membeli beras sebanyak 1-2 canting.Baca juga: Cerita Nenek Ira Rela Berebut Makam dengan Pemulung demi Tempat TinggalKarena hidup di bawah jembatan, Wendi juga tidak mendapat pasokan listrik. Bahkan untuk sekadar memasak pun masih menggunakan tungku kayu. Ia sebenarnya berharap bisa membeli kompor minyak tanah, tapi uang yang didapat sehari-hari dari memulung tak cukup untuk membelinya."Nggak boleh (ada listrik) di sini, takut digigit-gigitin sama tikus atau nanti kabelnya jadi kebakar kan atau korslet, bahaya jadinya," ujarnya.Hasil mulung yang didapat Wendi setiap harinya tidak tetap, tergantung dari banyaknya botol yang dikumpulkan. Namun, ia bekerja keras agar bisa mengumpulkan botol hingga satu karung penuh karena bisa dijual sekitar Rp 20.000.Dengan mengumpulkan botol bekas sebanyak 3-4 karung, ia bisa memperoleh uang sekitar Rp 60.000-80.000 per hari. Namun, uang tersebut tak bisa dipakai untuk membeli barang atau sekadar pakaian baru, hanya disimpan untuk membeli makan, kopi, dan rokok sehari-hari."Saya mah nggak pernah beli baju. Ini baju yang saya cuci mah mungut semua, sandal atau sepatu juga mungut. Kalau ada yang lewat di kali saya ambilin, kadang-kadang di tong sampah. Kalau yang udah dipakai-pakai ini bekas semua, buangan semua. Kalau sabun odol gitu saya ngambil di warung, nanti kalau kita nimbang (hasil mulung) seminggu sekali baru dibayar," pungkasnya.Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini