Pelajaran dari Serangan Balik Iran ke Israel

Pelajaran dari Serangan Balik Iran ke Israel

imk2025/06/16 19:00:18 WIB
Ilustrasi serangan balik Iran ke Israel (Foto: REUTERS/Mussa Qawasma)

Dunia kembali berubah. Setelah sekian lama menahan diri di bawah tekanan, Iran akhirnya berbicara. Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan roket. Bukan dengan diplomasi, melainkan dengan daya gempur yang menghancurkan ilusi keamanan di jantung Israel.Tel Aviv, kota yang selama ini digadang-gadang sebagai simbol sistem pertahanan paling modern dan "teraman" di dunia, dalam satu malam, luluh lantak, porak-poranda, dan nyaris hilang dari peta. Sebuah realitas pahit yang kini harus dihadapi oleh para arsitek keamanan dunia pasca-Perang Dunia II.Balasan Iran atas serangan Israel ke jantung kota Teheran – yang menewaskan Panglima Garda Revolusi, Hossein Salami, serta sejumlah ilmuwan strategis – bukan sekadar tindakan militer. Itu adalah pernyataan politik dan bersifat eksistensial. Sebuah pesan kepada dunia, bahwa dalam sistem internasional yang diam, negara lemah harus menemukan kekuatannya sendiri, atau akan binasa.Balasan yang Tak Terduga DuniaDengan kemampuan teknologi yang selama ini diragukan karena embargo, Iran berhasil meluncurkan lebih dari 350 rudal balistik dan drone hipersonik dalam waktu kurang dari enam jam (data: IRGC Public Release & Global Defence Monitor, Juni 2025). Lebih dari 70% sistem pertahanan Iron Dome Israel lumpuh, sebagian karena saturasi volume serangan, sebagian lagi karena presisi rudal Shahed generasi baru yang telah ditingkatkan dengan sistem navigasi non-GPS. Serangan ini bukan hanya berdampak secara militer, tapi psikologis dan simbolik.Akurasi tinggi, koordinasi simultan, dan daya ledak yang mematikan dari sistem senjata Iran memperlihatkan kepada dunia bahwa selama puluhan tahun, di bawah embargo dan sanksi, Iran membangun sistem pertahanannya sendiri. Kini, dunia menyaksikan buah dari determinasi geopolitik itu.Surat yang Tidak DijawabNamun sebelum semua ini terjadi, Iran sudah mencoba jalan damai. Pada 13 Juni 2025, hanya beberapa jam setelah Israel menghantam Teheran, Iran mengirim surat resmi kepada Sekretaris Jenderal PBB. Dalam surat tersebut, Iran menjabarkan dasar hukum internasional atas posisinya, termasuk merujuk pada Pasal 51 Piagam PBB yang mengatur hak negara untuk membela diri jika terjadi agresi bersenjata. Iran juga menekankan bahwa serangan Israel melanggar integritas teritorial dan membahayakan fasilitas sipil yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa.Namun apa yang terjadi? Tidak ada jawaban. Tidak ada kecaman. Tidak ada resolusi. Dunia, terutama institusi internasional yang dibangun atas nama hukum dan keadilan pasca-Perang Dunia II, memilih diam.Dalam teori hukum internasional, kelambanan seperti ini dikenal sebagai omission with consequence: pengabaian yang membawa konsekuensi strategis dan moral. Ketika hukum tidak dijalankan, maka keadilan kehilangan maknanya. Dan pada titik inilah, krisis berubah bentuk: dari diplomasi menjadi pertempuran, dari forum menjadi medan perang.Rasionalitas dari KetakberdayaanApa yang dilakukan Iran dapat dimengerti bahkan oleh akal sehat yang paling awam sekalipun. Mereka diserang, dilecehkan, dan dipermalukan di hadapan dunia. Ketika jalur diplomasi tidak memberi ruang, balasan menjadi satu-satunya cara mempertahankan martabat bangsa.Palestina barangkali memiliki dasar moral yang serupa, tetapi tidak memiliki daya. Di Gaza, setiap hari kita menyaksikan pembantaian terbuka terhadap penduduk sipil yang tak berdaya. Namun, dunia tetap bungkam. Yang membedakan Gaza dan Teheran bukan hanya letak geografisnya, melainkan daya gempur dan kapasitas pertahanan yang mereka miliki. Di sinilah hukum internasional gagal total. Karena ia tidak mengikat siapa pun, kecuali yang lemah.Hancurnya Ilusi Keadilan GlobalPasca-Perang Dunia II, kita dididik untuk percaya bahwa sistem internasional menjamin keadilan. Bahwa hukum, diplomasi, dan lembaga internasional seperti PBB adalah pelindung negara-negara kecil dan lemah. Namun kenyataannya, sistem ini tidak pernah benar-benar berdiri di atas asas keadilan yang universal.Pada kenyataannya, genosida di Gaza terus terjadi; Donald Trump dengan mudahnya mengambil keputusan ekonomi sepihak yang menghancurkan pakta dagang dan tatanan ekonomi global; dan terakhir adalah serangan brutal Israel ke Iran hanya atas dasar dugaan dan paranioa yang tidak berdasar. Semua dilakukan secara unilateral, tanpa dialog, seraya mengabaikan hukum internasional yang sudah disepakati bersama semua bangsa beradab.Maka serangan balik Iran mengingatkan kita bahwa dalam sistem dunia yang anarkis, yang kuatlah yang menentukan nasibnya. Iran memahami hal ini sejak lama. Itulah sebabnya mereka menolak tunduk pada sistem global yang bias. Di bawah sanksi dan isolasi selama empat dekade, Iran membangun kemampuan nuklir, militer, dan pertahanan mandiri.Hari ini, dunia melihat hasilnya. Mereka berdiri di atas kaki sendiri. Dan ketika diserang, mereka tidak mengemis keadilan, tapi memperjuangkannya dengan kekuatan.Sementara itu, negara-negara yang terjebak dalam ilusi liberalisme global hanya bisa terdiam. Bahkan ketika Donald Trump terang-terangan menyebut, "kissing my ass," kepada negara-negara yang meminta renegosiasi tarif, tidak ada satu pun pemimpin Barat yang berani bersuara.Indonesia dan Tanggung Jawab SejarahIndonesia bukan negara yang berjarak geografis dari konflik ini. Secara historis dan konstitusional, Indonesia dilahirkan untuk menantang segala bentuk penjajahan dan menciptakan perdamaian dunia dan keadilan sosial. Itu bukan frasa kosong. Itu adalah DNA bangsa ini sejak 17 Agustus 1945.Kita mungkin tersesat selama beberapa dekade pasca kemerdekaan, tenggelam dalam dinamika politik dalam negeri yang sempit. Namun kini, kita punya kesempatan baru. Pemerintahan Prabowo–Gibran membawa optimisme baru, sebagaimana tertuang dalam Asta Cita mereka: membangun pertahanan yang kuat, berdikari dalam ekonomi, dan berperan aktif dalam perdamaian dunia. Situasi yang terjadi sekarang, adalam momentum untuk membuktikan kebenaran janji dari visi tersebut.Dalam dinamika geopolitik dan keamanan yang terus meningkat, Indonesia harus memposisikan dirinya bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang konsisten menyuarakan keadilan global. Kita harus berani menantang standar ganda internasional dan membela mereka yang tertindas tanpa pamrih.Berdiri di Atas Kaki SendiriPelajaran besar dari peristiwa ini bukan sekadar tentang balasan Iran atau keruntuhan simbol keamanan Tel Aviv, tetapi tentang kebenaran paling sunyi dari sistem dunia kita: bahwa hukum internasional, seindah apa pun narasinya, tidak memiliki gigi tanpa kekuatan yang menopangnya.Dunia memang anarkis, seperti yang dipahami oleh para pemikir realis sejak Thucydides hingga Kenneth Waltz. Dan dalam dunia semacam itu, harga diri hanya bisa dijaga oleh mereka yang mampu berdiri sendiri.Namun, bukan berarti cita-cita akan perdamaian dan keadilan global adalah ilusi. Justru sebaliknya, ia adalah mimpi besar umat manusia yang hanya bisa dicapai bila ada keberanian untuk membangunnya di atas fondasi kekuatan nasional yang mandiri dan berdaulat.Indonesia, dengan sejarahnya yang anti-penjajahan dan konstitusi yang menjunjung tinggi perikemanusiaan, memiliki panggilan moral untuk menjadi penyeimbang dalam dunia yang retak ini.Dari Iran hari ini kita belajar bahwa benar kata pendiri bangsa kita: "Berdiri di atas kaki sendiri" bukan pilihan, tapi satu-satunya cara untuk menjaga harga diri bangsa. Dalam anarkisme internasional, kekuatanlah yang melindungi martabat, dan kemandirianlah yang menjaga kehormatan.Jika kita ingin anak-cucu kita hidup dalam dunia yang adil dan bermartabat, maka kita harus membangun kekuatan itu sejak sekarang. Bukan untuk menyerang, tetapi untuk tidak diinjak. Bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk tidak ditaklukkan. Wallahualam bi Sawab…Wim Tohari Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional, FISIP UNIKOM, Bandung

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya