Makna dan Tradisi Malam 1 Suro dalam Budaya Jawa

Makna dan Tradisi Malam 1 Suro dalam Budaya Jawa

ihc2025/06/13 01:00:51 WIB
Tradisi Malam 1 Suro di Mojokerto. Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim

Malam 1 Suro selalu memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Jawa. Bagi sebagian besar orang Jawa, malam ini bukan sekadar pergantian tahun dalam kalender Jawa, tetapi juga momentum untuk merenung, mendekatkan diri kepada Tuhan, serta menjalankan berbagai tradisi turun-temurun yang sarat makna spiritual dan budaya.Tidak heran, setiap tahun berbagai daerah di Jawa merayakan malam 1 Suro dengan penuh khidmat melalui ritual dan upacara adat. Dirangkum dari halaman Indonesia Kaya, berikut berbagai tradisi yang umum dilaksanakan pada malam 1 Suro.Baca juga: Perbedaan Makna 1 Muharram dan 1 SuroAsal-usul Malam 1 Suro dalam Kalender JawaTradisi malam 1 Suro berakar dari masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar dari Kesultanan Mataram Islam. Pada abad ke-17, masyarakat Jawa kala itu masih menggunakan kalender Saka yang merupakan warisan budaya Hindu. Sultan Agung kemudian menggagas penyatuan kalender Saka dengan kalender Hijriah Islam, guna memperkuat penyebaran agama Islam di tanah Jawa.Penyatuan kalender ini dimulai pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka, atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi. Sejak saat itu, Satu Suro ditetapkan sebagai hari pertama dalam kalender Jawa yang sejajar dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.Makna Filosofis Suro dalam Tradisi JawaKata "Suro" berasal dari istilah Arab "Asyura", yang berarti "sepuluh", merujuk pada 10 Muharram, hari penting dalam Islam yang memperingati wafatnya Sayyidina Husein di Karbala. Dalam budaya Jawa, bulan Suro diyakini sebagai waktu yang sakral. Banyak masyarakat yang melakukan ritual spiritual demi mendapatkan keselamatan, ketenangan batin, dan perlindungan dari marabahaya.Menurut buku Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Solikhin, 1 Suro menjadi momentum spiritual bagi masyarakat Jawa untuk meningkatkan kualitas hidup secara lahiriah dan batiniah. Inilah sebabnya bulan Suro seringkali identik dengan "laku prihatin", semacam tirakat atau pengendalian diri demi tujuan spiritual tertentu.Tradisi Malam 1 Suro di KeratonDi lingkungan keraton Surakarta dan Yogyakarta, malam 1 Suro dirayakan dengan sangat istimewa. Salah satu tradisi paling terkenal adalah kirab pusaka, yaitu arak-arakan benda-benda pusaka keraton yang dianggap memiliki kekuatan spiritual.Di Keraton Surakarta, kirab ini biasanya diiringi dengan kehadiran kebo bule (kerbau putih) yang menjadi simbol keraton dan dianggap sebagai pusaka hidup. Kebo bule, yang dikenal dengan nama Kiai Slamet, dipercaya membawa keberkahan.Bahkan, masyarakat rela berdesakan demi mendapatkan kotoran kerbau tersebut yang dianggap membawa keberuntungan. Tradisi ini mulai dilakukan di luar tembok keraton sejak era Presiden Soeharto, yang kala itu meminta doa keselamatan bagi bangsa kepada Paku Buwono XII.Di Yogyakarta, kirab malam 1 Suro dilakukan dengan membawa keris dan berbagai pusaka lainnya. Ritual ini dilengkapi dengan pembacaan doa-doa dan zikir, yang menggambarkan keinginan mendalam untuk mendapatkan rida dan perlindungan Tuhan.Baca juga: Kapan Malam 1 Suro 2025? Simak Mitos dan PantangannyaRagam Ritual Lain dalam Menyambut Bulan SuroSelain kirab pusaka, tradisi malam 1 Suro juga diramaikan dengan berbagai ritual lainnya. Berikut ini beragam ritual yang dilakukan pada bulan Suro.Jamasan Pusaka: Ritual membersihkan benda-benda pusaka yang dipercaya dapat menyucikan dan memperkuat energi spiritualnya.Ruwatan: Upacara tolak bala yang ditujukan untuk membebaskan seseorang dari nasib buruk.Tapa Brata dan Tirakatan: Laku prihatin dengan tidak tidur semalaman, berpuasa, menyepi, atau merenung dalam keheningan malam.Pertunjukan Wayang Kulit dan Kesenian Tradisional: Diselenggarakan sebagai bentuk syukur dan pelestarian budaya Jawa.Salah satu ritual yang paling unik adalah mubeng beteng, yaitu berjalan kaki mengelilingi benteng keraton. Dalam buku Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni karya Hersapandi dkk., dijelaskan bahwa ritual ini terpengaruh tradisi Hindu-Buddha pradaksina dan prasawya. Pradaksina (berjalan searah jarum jam) melambangkan permohonan lahiriah, sementara prasawya (berlawanan arah jarum jam) lebih bersifat batiniah dan kontemplatif.Makna Eling dan Waspada di Bulan SuroSepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa dianjurkan untuk bersikap eling (selalu ingat kepada Tuhan) dan waspada (berhati-hati terhadap gangguan lahir dan batin). Nilai-nilai ini mencerminkan ajaran moral dan spiritual yang dalam, bahwa manusia harus menyadari posisinya sebagai makhluk Tuhan yang harus menjaga diri dari godaan duniawi.Malam 1 Suro bukan sekadar malam mistis, melainkan malam penuh makna yang sarat nilai religius, budaya, dan spiritual. Tradisi-tradisi ini menjadi warisan leluhur yang terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan kearifan lokal.

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya