Sinopsis:Masih mengambil setting di Shadyside-sebuah kota yang terkenal karena kasus kriminal dan orang-orangnya yang masuk kategori masyrakat kelas dua- Fear Street: Prom Queen memperkenalkan kita kepada Lori Granger (India Fowler).Tahun ini ia dinominasikan sebagai prom queen, sesuatu yang dia idam-diamkan demi memperbaiki citra keluarganya yang sudah keburu rusak. Ibunya konon diisukan membunuh sendiri suaminya dan karena inilah Lori menjadi bulan-bulanan cewek-cewek gaul di sekolahnya.Cuplikan adegan dalam Fear Street: Prom Queen. Foto: Dok. NetflixMegan (Suzanna Son), sahabat Lori, menganggap semua perayaan ini adalah hal yang konyol. Ia tidak menyadari betapa inginnya Lori memenangkan ini semua. Apalagi kenyataan bahwa Tiffany (Fina Strazza), bersama teman-temannya adalah lawan yang cukup serius.Baca juga: The Ugly Stepsister: Cinderella yang Gak Pernah Kamu LihatTidak hanya Tiffany terkenal cantik, ia juga berpacaran dengan cowok yang tentu saja ditaksir oleh Lori juga. Ketika semua murid datang mengenakan gaun dan jas terbaik mereka, kampanye untuk memenangkan gelar siswa tercantik ini pun dimulai. Mereka tidak tahu bahwa ada pembunuh berkeliaran yang tidak segan memotong kepala mereka semua.Review:Trilogi Fear Street konon didesain untuk dinikmati bioskop sebelum pandemi menghantam kita semua dan akhirnya berakhir di Netflix. Keputusan ini ternyata menjadikan trilogi horor tersebut sebagai salah satu kemenangan bagi streamer tersebut.Cuplikan adegan dalam Fear Street: Prom Queen. Foto: Dok. NetflixJarang sekali kita mendapatkan horor remaja yang tidak hanya memiliki presentasi audio-visual yang mumpuni tapi juga dilengkapi dengan karakter-karakter yang mudah dicintai dan plot yang cukup untuk membuat penontonnya fokus. Berita buruknya adalah semua hal baik yang kamu dapatkan dari trilogi originalnya tidak hadir di jilid terbaru Fear Street yang
baru.Film slasher remaja tidak pernah didesain untuk menjadi tontonan yang "penting". Ia hadir sebagai escapism, sebuah tontonan seru untuk memeriahkan akhir pekan para penontonnya. Sebelum Scream, slasher remaja dipandang sebelah mata. Isinya hanya aktor-aktor cantik dan tampan yang melakukan hal-hal ceroboh sebelum mereka semua menemui ajal satu per satu.Bagian paling menyenangkan dari menonton film jenis ini adalah ketegangan yang ia hadirkan. Sayangnya hal tersebut tidak dapat film ini suguhkan dengan baik.Baca juga: The Assessment: Repotnya Ujian Buat Jadi Orang TuaDisutradarai oleh Matt Palmer dan ditulis oleh Palmer sendiri bersama Donald McLeary, setting 80-an film ini terasa artifisial. Aktor-aktor muda yang tampil di layar terasa seperti sedang cosplay film zaman dulu, lengkap dengan semua lagu populer yang hadir pada eranya.Berbeda dengan trilogi aslinya yang berhasil membuat saya sebagai penonton peduli dengan setting dan karakter-karakternya, semua hal yang ada di film ini terasa seperti tempelan. Mengharapkan Fear Street: Prom Queen mempunyai narasi yang bermakna memang terasa muluk.Film ini jelas tidak akan bisa menyamai trilogi aslinya yang mampu menghembuskan isu soal identitas seksual dan sistem kelas. Tapi film ini terasa sekali malasnya. Dinamika karakternya datar, semua interaksi karakternya juga membosankan. Tapi yang lebih tidak bisa dimaafkan adalah minusnya ketegangan yang menjadi kunci film seperti ini.Cuplikan adegan dalam Fear Street: Prom Queen. Foto: Dok. NetflixDengan banyaknya mayat yang berjatuhan, Fear Street: Prom Queen seharusnya memiliki paling tidak satu adegan yang akan menjadi highlight. Sayangnya semua adegan pembunuhan dalam film ini gagal untuk menampilkan momen-momen yang sangar. Hanya ada satu adegan yang mungkin terlihat kreatif-pembunuhnya menangkap salah satu murid dan menghabisinya menggunakan pisau kertas yang dipakai di tempat fotokopi.Tapi sayangnya hal tersebut tidak dibingkai dengan suspense yang kuat sehingga adegannya hadir dan menghilang begitu saja. Tensi yang super letoy inilah yang akhirnya menjadikan Fear Street: Prom Queen kurang menggigit. Ditambah dengan twist yang kurang bergigi, film ini akhirnya menjadi tontonan yang mudah dilupakan. Tidak peduli berapa banyak potongan tubuh manusia yang terlempar di lantai dansa, kalau hasilnya melempem, tidak ada gunanya juga.