Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi soal mengirim siswa-siswa yang dianggap nakal ke barak militer, telah dimulai. Per Senin (5/5/2025), sejumlah siswa telah dikirim ke barak militer di Depo Pendidikan (Dodik) Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.Siswa-siswa tersebut akan mengikuti program pendidikan karakter dan kedisiplinan selama 14 hari. Program ini diikuti oleh siswa-siswa yang diberi perlakuan khusus karena terlibat perilaku menyimpang.Berdasarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 43/PK.03.04/KESRA tentang 9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya, diklasifikasikan kategori kenakalan siswa yang harus disekolahkan ke barak TNI. Kriteria siswanya yakni yang kerap terlibat tawuran, bermain game, merokok hingga melakukan balapan liar."Bagi peserta didik yang memiliki perilaku khusus, yang sering terlibat tawuran, main game, merokok, mabuk, balapan motor, menggunakan knalpot brong dan perilaku tidak terpuji lainnya, akan dilakukan pembinaan khusus," tulis keterangan dalam SE tersebut, dikutip Selasa (5/5/2025).Baca juga: Video Respons Pengamat soal Siswa Bermasalah di Jabar Dididik MiliterBaca juga: Ramai Militer Masuk Kampus, Pakar UGM Sorot Kebebasan Berpendapat dan Respons DPRMengirim Siswa ke Barak Militer: Solusi yang Tergesa-gesaPengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Subarsono, MSi, MA, mengapresiasi kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi sebagai terobosan di luar kebiasaan para gubernur lainnya dalam mengatasi kenakalan siswa."Mengirim anak 'nakal' ke barak militer perlu diapresiasi sebagai kebijakan out of the box. Ketika kenakalan siswa sudah tidak mampu diatasi oleh para guru di sekolah dan orang tuanya sendiri, maka jalan memasukkan mereka ke asrama militer untuk digembleng mental dalam konteks pendidikan karakter adalah solusinya," ucapnya saat dihubungi detikEdu, Selasa (6/5/2025)."Karena selama ini memang ada sebagian para siswa melakukan kenakalan, kalau di Yogyakarta dikenal dengan 'klithih'," imbuhnya.Meski begitu, Subarsono menilai kebijakan ini seperti lari maraton yang tampak tergesa-gesa tanpa proses persiapan lebih dahulu. Terutama berkaitan dengan perlunya diskusi dengan pemangku dari berbagai disiplin."Akan sangat ideal kalau sebelumnya, dari sisi provider atau pemerintah daerah menyelenggarakan diskusi bersama dengan para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin, seperti birokrat dari Kemendikdasmen, para guru, para psikolog, pakar pendidikan, di samping militer untuk menentukan kurikulum yang ideal untuk terapi para siswa yang nakal," paparnya.Menurutnya, dari sisi siswa yang akan dikirim ke barak militer juga perlu dilakukan tes dan observasi untuk menilai tingkat kenakalannya. Hal ini karena tingkat kenakalan antarsiswa yang diperlakukan khusus, mungkin tidak sama.Meski begitu, Subarsono berpendapat bahwa kebijakan ini tetap bisa menuai pro kontra. Terlebih, bagi pihak yang menggunakan pendekatan hukum, maka mengirim siswa 'nakal' ke barak militer bisa dianggap sebagai tindakan ekstrem dan tidak populer.Mengirim Siswa ke Barak Militer Seharusnya Jadi Solusi TerakhirDalam konteks melakukan pendidikan karakter siswa, kata Subarsono, mengirim ke barak militer perlu dipandang sebagai solusi terakhir. Sebab secara normatif, pendidikan siswa masih dalam wewenang sekolah dan orang tua."Memasukan siswa ke barak militer adalah solusi terakhir dan bukan satu-satunya untuk melakukan pendidikan karakter siswa. Fungsi guru Bimbingan Konseling (BK) perlu direvitalisasi kalau kita tidak mau siswa-siswa yang nakal dibawa ke barak militer. Guru BP sebaiknya menempatkan diri seperti orang tua di mana para siswa bisa menumpahkan problem-nya dan mendapat advice," ucap Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM itu.Ia memberi catatan bahwa, sepanjang pendidikan di barak militer menyangkut disiplin dan bukan melulu pendidikan fisik, maka diyakini bisa terkendali. Terutama harus ada pendamping psikolog yang memonitor selama pendidikan."Para militer yang melakukan pendampingan pendidikan anak-anak 'nakal' ini perlu menyadari bahwa mereka bukan calon serdadu yang perlu ditempa keras terus, tetapi (didik mereka) sebagai siswa yang sedang melakukan terapi sesuai dengan umur mereka," ungkapnya."Saya merekomendasikan, ada baiknya kebijakan yang sudah diimplementasikan ini dievaluasi untuk melihat intended impacts (dampak yang diharapkan) dan unintended impacts atau dampak yang tidak diharapkan, sehingga segera dapat diambil kesimpulan untuk dilanjutkan atau determinasi atau distop," pungkasnya.Baca juga: Pakar UGM soal Soeharto Calon Pahlawan Nasional: Jangan Abaikan Sejarah & Kontroversi