Saat Negara 'Kubur' Sisa Rumoh Geudong Usai Akui Pelanggaran HAM Berat

Saat Negara 'Kubur' Sisa Rumoh Geudong Usai Akui Pelanggaran HAM Berat

agse2023/06/25 14:28:25 WIB
Sisa Rumoh Geudong yang kini sudah dibongkar (dok.KontraS)

Jangan kubur kebenaran

Bersuaralah!

Meskipun tak jadi kataKalimat di tugu memorialisasi berkelir hitam itu menyambut pengunjung ke kompleks Rumoh Geudong, di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie. Di tempat itu, pernah terjadi pelanggaran HAM berat pada tahun 1989-1998.Rumoh Geudong dibangun Ampon Raja Lamkuta pada tahun 1818. Rumah itu pernah dijadikan tempat mengatur strategi saat perang melawan Belanda dan basis perjuangan melawan Jepang.Semasa pemerintah orde baru memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, rumah itu dipakai tentara sebagai Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis). Saat itulah diduga terjadi penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan.Seorang korban, Thahir, dibawa ke Rumoh Geudong setelah dituduh menyimpan senjata AK milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tuduhan itu berdasarkan informasi dari seorang cuak (informan) yang ditangkap sebelumnya.Setiba di Rumoh Geudong, Thahir dipukul. Dia tidak mengakui perbuatannya karena merasa tidak menyimpan senjata dan tidak mengetahui tentang kegiatan GAM.Tentara memaksanya agar mengaku. Namun karena tetap menolak, Thahir disebut dimaki-maki, diikat, ditelanjangi serta disetrum kemaluan dan kaki."Ia juga dipukul dengan rantai dan dipukul dengan rotan, kabel dan rantai kendaraan. Karena tetap tidak mengetahui keterlibatannya, ia ditahan hingga 29 hari dan disiksa setiap hari di ruang bawah tanah Rumoh Geudong hingga pingsan," tulis buku 'Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu' yang diterbitkan KontraS tahun 2006 dan dikutip detikSumut, Minggu (25/6/2023).Baca juga: Bangunan Tempat Pelanggaran HAM Berat Dihancurkan Jelang Kedatangan JokowiDalam buku itu disebutkan, selama ditahan di sana, Thahir mendengar suara orang-orang disiksa dan melihat orang meninggal akibat penganiayaan. Ketika akan dilepas, Thahir sempat diancam militer."Anda-anda yang sudah di sini, hati-hati pulang ke kampung dan katakan kepada masyarakat desa bahwa kami tidak melakukan apa-apa pada Anda semua selama di Rumoh Geudong," pesan militer.Setelah masa DOM dicabut, rumah itu dibakar massa. Di sana hanya tinggal tangga serta sisa bangunan. Lokasinya dipenuhi semak ilalang."Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh," kata Direktur Paska Aceh Farida Haryani dalam keterangannya, Kamis (22/6).Baca juga: Penghancuran Rumoh Geudong Dinilai Upaya Hilangkan Bukti Pelanggaran HAMBaca selengkapnya di halaman berikut...Sejak tahun 2017, para penyintas dan masyarakat sipil telah merawat cerita para korban dan penyintas, dan menuntut keadilan atas pelanggaran yang mereka alami.Para penyintas disebut secara rutin menyelenggarakan doa bersama dan membangun tugu peringatan untuk mengingat kekerasan yang terjadi masa lalu dan mengenang keluarga yang telah pergi. Menurutnya, upaya korban dan penyintas untuk merawat sisa bangunan Rumoh Geudong dan membangun tugu peringatan menjadi ruang pemulihan korban dan pendidikan bagi generasi muda agar kekerasan yang sama tidak terulang lagi."Insiatif korban ini sejalan dengan perspektif keadilan transisi yang menempatkan memorialisasi sebagai komponen penting dalam merawat kebenaran, pemulihan, dan memastikan pertanggungjawaban negara," ujarnya.Pada awal Januari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Rumoh Geudong."Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat," kata Jokowi dalam konferensi pers, Rabu (11/1) seperti dikutip dari detikNews.Jokowi juga bersimpati kepada korban dan keluarga korban. "Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban," ungkapnya.Lima bulan berselang, Presiden Jokowi berencana mengunjungi Rumoh Geudong untuk melakukan kick off penyelesaian non yudisial kasus pelanggaran HAM berat. Untuk menyambut kedatangan Jokowi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie melakukan sejumlah persiapan.Baca juga: Penghancuran Rumoh Geudong Dinilai Upaya Hilangkan Bukti Pelanggaran HAMPemkab Pidie menghancurkan sisa bangunan Rumoh Geudong dengan menggunakan alat berat. Pemkab beralasan, di lokasi itu akan dibangun masjid menggunakan dana bersumber dari APBN.Pemkab Pidie juga mengaku telah membebaskan lahan tersebut seharga Rp 4 miliar. Tanah itu dibeli dari ahli waris pemilik rumah."Ini juga untuk menghapus semua luka lama, membangun masa depan untuk lebih baik lagi," kata Kabag Prokopim Setda Pidie Teuku Iqbal saat dimintai konfirmasi detikSumut, Jumat (23/6).Penghancuran itu mendapat penolakan dari berbagai pihak. Organisasi masyarakat sipil terdiri dari terdiri dari Paska Aceh, KontraS Aceh, AJAR, RPUK, Pulih, KontraS, Koalisi NGO HAM, ACSTF, Katahati Institute, LBH Banda Aceh, Center for Citizenship and Human Rights Studies (CCHRS), SKP-HAM Sulteng, SEMAI, dan KontraS Sulawesi, menyesalkan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong."Penghancuran tersebut merupakan upaya lancung penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005," kata Direktur Paska Aceh Farida Haryani dalam keterangannya, Kamis (22/6).Baca selengkapnya di halaman berikut...Dia menilai tim pemerintah Pidie telah bekerja secara terburu-buru, tidak berdasar pada hasil pendataan korban yang utuh dari Komnas HAM. Selain itu Pemkab juga dinilai mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, serta menihilkan inisiatif korban dan penyintas dalam membangun memorialisasi di Rumoh Geudong."Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini," jelas Farida.LBH Banda Aceh menilai penghancuran itu sebagai upaya menghilang bukti pelanggaran HAM yang terjadi di Rumoh Geudong."Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di lokasi tersebut, dan ini salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat," kata Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (23/6).Syahrul menyebutkan, Rumoh Geudong merupakan tempat penyiksaan selama konflik bersenjata di Aceh berlangsung. Dia menilai pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya dapat menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial.Komite Peralihan Aceh (KPA) menduga penghancuran itu untuk menghilangkan bukti sejarah di Tanah Rencong. KPA merupakan wadah tempat bernaungnya mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca perdamaian.Juru Bicara KPA Pusat Azhari Cage menduga menduga sisa bangunan itu sengaja dihancurkan untuk menghilangkan sejarah Aceh. Azhari meminta tidak ada yang mengganggu bukti sejarah baik itu bukti sejarah baik ataupun sejarah kelam."Kita menduga ini ada maksud terselubung tentang penghilangan sejarah atau penghilangan bukti pelanggaran HAM konflik dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. KPA dengan tegas meminta untuk tidak mengusik atau mengganggu bukti sejarah yang ada di Aceh," ujar mantan anggota DPR Aceh itu, Kamis (22/6).Baca juga: DPRA Sesalkan Rumoh Geudong Dibongkar: Harusnya Jadi Situs Pelanggaran HAMMenurutnya, KPA telah menyurati Presiden Jokowi agar di lokasi itu dibangun museum serta sekolah dari jenjang SD hingga SMA. Berdasarkan informasi diperoleh KPA, di lokasi Rumoh Geudong rencananya akan dibangun masjid."Melalui media kita mengetahui situs sejarah Rumoh Geudong telah digusur yang rencananya akan dibangun masjid. Kita bukan menolak pembangunan masjid tapi dalam kemukiman itu sudah ada mesjid nanti kalau dipaksakan malah jemaahnya tidak cukup," jelasnya."Kalau memang mau dibangun masjid kenapa harus dipaksakan di situ, kenapa tidak dipinggir jalan atau di tempat yang lain yg lebih cocok?" lanjut Azhari.Ketua Komisi I DPR Aceh Iskandar Usman Alfarlaki juga mengungkapkan kekesalannya. Menurutnya tempat itu seharusnya menjadi bukti pelanggaran HAM berat di Aceh."Kita sesalkan atas tindakan pemerintah yang merobohkan sisa bangunan Rumoh Geudong di Pidie, karena bagunan itu adalah saksi bisu sejarah panjang konflik senjata Aceh," kata Iskandar kepada wartawan, Sabtu (24/6).Baca selengkapnya di halaman berikut...Dia menyebutkan, negara seharusnya merawat sisa bangunan itu untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang konflik senjata di Tanah Rencong. Politikus Partai Aceh itu meminta pemerintah membangun museum berbentuk menyerupai Rumoh Geudong di lokasi tersebut."Harusnya bangunan tersebut dapat dirawat untuk dijadikan sebagai situs sejarah pelanggaran HAM berat di Aceh, ini penting sebagai pembelajaran dan pengingat kita tentang perang panjang di Aceh," jelasnya."Sebagai wujud mempertahankan memori kolektif tentang situs pelanggaran HAM berat di Aceh, maka sangat penting untuk dibangun museum di lokasi Rumoh Geudong, bahkan bentuk bangunannya harus mereplikasi wujud Rumoh Geudong yang Aslinya," lanjut mantan Ketua Badan Legislasi DPR Aceh itu.Kemenko Polhukam membantah membongkar bangunan tersebut."Beberapa hari ini ada viral bahwa panitia membongkar bangunan yang ada di lokasi tersebut. Ini adalah narasi yang keliru," kata Deputi V Kemenko Polhukam Rudolf Alberth Rodja secara virtual saat konferensi pers bersama Menko Polhukam di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6).Baca juga: Konsultan Peneliti Ganja Medis dari Jakarta Meninggal di Hotel di Banda AcehRudolf mengatakan pihaknya sudah berada di Aceh sejak Minggu (18/6). Dia mengaku sudah dua kali pergi ke lokasi acara kick off pemulihan hak korban pelanggaran HAM untuk mengecek persiapan."Kami sudah melihat langsung di saat awal kami datang, itu hanya berupa tangga dan dua bidang tembok, dengan tinggi kurang lebih 1,60 meter dan ditumbuhi oleh hutan belukar dan pohon-pohon kelapa yang ada di sana," jelasnya.Rudolf mengatakan pelanggaran HAM berat pernah terjadi di Rumah Geudong pada 1989. Namun, pada 1998, bangunan tersebut dibongkar sendiri oleh masyarakat sekitar agar tidak mengenang lagi kejadian masa lalu."Sehingga yang sekarang tersisa adalah tembok-tembok yang ada di sana dan ada rangka yang tersisa walaupun itu adalah rumah panggung, namun tangganya terbuat dari semen, jadi tidak rusak," ujarnya.Rudolf mengatakan tidak ada bangunan yang dibongkar oleh pemerintah. Dia menegaskan narasi bangunan itu dibongkar oleh pemerintah merupakan hal yang tidak benar."Narasi bangunan dibongkar oleh panitia itu adalah menyesatkan. Yang ada tinggal ada tangga dan tembok dan tembok ini harus diratakan karena akan mengganggu pemasangan tenda dan lain-lain kalau tidak dibongkar, dan tetapi tembok ini hanya tembok kurang lebih 1,60 dengan panjang kira-kira 2,5 meter saja," tuturnya.

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya