Tanggal 20 Mei 2023 ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Ini merupakan pengingat akan tonggak perjuangan kemerdekaan.Tonggak perjuangan kemerdekaan yang ditandai meningkatnya kesadaran kalangan cendekiawan, akan pentingnya akar nasionalisme yang kuat dalam rangka mempersatukan bangsa, demi menghempas penjajahan di tanah air serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan atas bangsa Indonesia.Hari Kebangkitan Nasional:1. Tema Harkitnas 2023Berdasarkan Surat Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 241/M.KOMINFO/HM.04.01/05/2023, Hari Kebangkitan Nasional 2023 atau yang ke-115 ini mengangkat tema Semangat untuk Bangkit. Tema ini bermakna penuh akan nilai-nilai semangat dan kekuatan untuk bangkit menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei mengacu pada tanggal didirikannya Organisasi Budi Utomo. Sebab Budi Utomo disebut sebagai pelopor dari gerakan-gerakan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.Budi Utomo didirikan Dr Soetomo bersama para pelajar 'School tot Opleiding van Inlandsche Artsen' (STOVIA) pada 20 Mei 1908. Organisasi ini atas gagasan Dr Wahidin Sudirohusodo yang berkeinginan dalam meningkatkan martabat rakyat dan bangsa Indonesia.2. Mengenal Dr SoetomoMengutip situs Insitut Harkat Negeri, Dr Soetomo lahir dengan nama Soebroto. Pria kelahiran 30 Juli 1888 ini berasal dari desa Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.Soetomo merupakan anak dari R Suwaji, seorang bangsawan yang menjabat sebagai wedana atau camat di Maospati, Madiun.Mulanya ayah Soetomo bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun. Kemudian pindah bekerja menjadi ajun jaksa di Madiun.Dikarenakan lahir di kalangan keluarga berada dan terpandang, maka Soetomo kecil dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah. Soetomo disekolahkan pada Sekolah Rendah Bumiputera.Namun ia kemudian dipindahkan ke Bangil (Jawa Timur), agar dapat masuk Sekolah Rendah Belanda (ELS = Europeesche Lagere School).Untuk itu, dirinya ikut dengan pamannya, Harjodipuro. Putera pamannya yang bernama Sahit masuk ELS, namun berbeda halnya dengan Soetomo.Meskipun Soetomo tidak diterima, pamannya tidak putus asa sehingga pada keesokan harinya ia dibawa lagi ke sekolah itu. Namun tidak dengan nama Subroto, mlainkan diganti nama menjadi Soetomo.Dengan nama itu, ia diterima di ELS. Di sana, ia terkenal sebagai siswa yang pandai sehingga disegani oleh teman-teman Indonesia maupun Belanda. Ia juga merupakan siswa kesayangan guru-guru Belandanya.Menginjak usia remaja atau setelah tamat dari ELS, ia melanjutkan studi ke sekolah dokter di Batavia, 'School tot Opleiding van Inlandsche Artsen' (STOVIA). Saat menjadi siswa STOVIA, dirinya bertemu dengan dr Wahidin Sudirohusodo, seorang pensiunan dokter.dr Wahidin Sudirohusodo saat itu datang ke Batavia dan menemui para pelajar STOVIA untuk memberikan ceramah, untuk menggugah para pemuda dalam memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa) bagi anak-anak yang tidak mampu.Pertemuan dengan dr Wahidin Sudirohusodo ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Soetomo muda dalam cita-citanya untuk membela rakyat kecil. Selain mendapat pengaruh besar dari dr Wahidin, Soetomo juga mendapat pengaruh besar dari dr Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia. Berkat pengaruh dari dua tokoh tersebut, Sutomo semakin matang dan mantap untuk mewujudkan cita-citanya.Atas gagasan yang dipaparkan dr Wahidin Sudirohusodo, Soetomo tertarik untuk merealisasikannya. Dirinya kemudian menyampaikan gagasan itu kepada teman-temannya di STOVIA. Mereka sepakat bahwa cita-cita yang luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan.Melalui gagasan tersebut, Soetomo bersama para pelajar STOVIA kemudian mendirikan suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo (budi yang utama) pada hari Rabu, 20 Mei 1908. Nama ini berasal dari kata-kata dr Wahidin ketika hendak berpisah dengan Soetomo, dirinya berkata 'punika satunggaling pedamelan sae serta nelakaken budi utami' (itu suatu perbuatan yang baik dan budi utama).Setelah nama Budi Utomo disepakati oleh semua peserta rapat yang terdiri dari Soetomo, Gumbreg, Soeradji, Gunawan Mangunkusumo, Mohammad Saleh, M Sulaiman, Suwarno dan Angka, maka disusunlah pemilihan pengurus Budi Utomo dengan Soetomo sebagai ketuanya.Dalam perkembangannya, Budi Utomo mendapatkan banyak dukungan dan anggota baru yang bergabung. Meskipun mendapat banyak respons negatif utamanya dari guru-guru STOVIA, namun Soetomo dan teman-temannya mendapat dukungan besar dari kepala sekolah dr H. F. Roll, bahkan ia memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta.3. Budi UtomoKongres pertama Budi Utomo diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908 dan dipimpin oleh dr Wahidin. Kongres tersebut menetapkan dan mengesahkan anggaran dasar beserta Pengurus Besar Budi Utomo, yang terdiri dari kaum tua. Pengambilalihan kepengurusan oleh kaum tua ini membawa dampak positif, karena dana Studie Fond semakin lebih lancar mengalir untuk tujuan pemberian beasiswa untuk memajukuan pendidikan pemuda Indonesia.Organisasi Budi Utomo bergerak dalam memajukan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat. Hingga pada akhir tahun 1909, Budi Utomo telah memiliki 40 cabang dengan beranggotakan 10.000 orang.Setelahnya, Soetomo tetap aktif memimpin Budi Utomo cabang Batavia sampai beliau lulus. Setelah lulus dari STOVIA dan menjadi dokter pada tahun 1911, ia diangkat menjadi dokter pemerintahan dan ditempatkan di berbagai tempat berbeda sehingga mengharuskannya untuk berpindah.Seperti halnya di Semarang, Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur) hingga ke Malang. Berpindah tugas dari satu daerah ke daerah lainnya ini membuatnya membuka mata dan mendapat banyak pengalaman akan kesengsaraan rakyat, dan berusaha membantu mereka dengan tidak menetapkan tarif atau bahkan membebaskan biaya untuk pasiennya.Pada 1917, Soetomo menikahi Everdina J Broering yang merupakan seorang perawat berkebangsaan Belanda. Lalu pada 1919, Soetomo mendapat kesempatan untuk belajar di Universitas Amsterdam, Belanda dan berpindah dengan membawa serta istrinya.Selain belajar di Belanda, dirinya juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI), yang merupakan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda. Melalui organisasi tersebut, ia berkenalan dengan tokoh PI lainnya seperti Mohammad Hatta, Ahmad Soebarjo, Ali Sastroamijoyo, Sunario, Iwa Kusuma, Sumantri dan Nazir Pamuncak.Setelah selama 4 tahun mengenyam pendidikan di Universitas Amsterdam, pada bulan Juni 1923 beliau pulang ke Indonesia. Setibanya di Indonesia, dr Soetomo ditugaskan menjadi dosen sekolah dokter NIAS (Nederlandse Indische Artsen Schoool) di Surabaya.Setahun setelahnya, ia mendirikan perkumpulan lain yang diberi nama Indonesische Studieclub (IS) pada tanggal 11 Juli 1924. Perkumpulan ini berjuang untuk membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya memiliki kesadaran dan kewajiban terhadap masyarakat.Dr Soetomo pernah menjadi anggota dewan kota (Gemeenteraad) di Surabaya. Keanggotaanya ini didorong oleh keyakinan bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar.Namun harapannya tidak terwujud karena kedudukannya di dewan tidak menguntungkan rakyat banyak. Oleh karena itu, Dr Soetomo dengan kawan-kawannya keluar dari dewan kota.Dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, membuat perasaan persatuan di kalangan pemimpin Indonesia semakin kuat dan meningkatkan rasa nasionalisme. Pada 16 Oktober 1930, Indonesische Studieclub (IS) mengadakan reorganisasi dan berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Pada perkembangan ini, anggotanya tak hanya terbatas pada kaum terpelajar, melainkan juga terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia.Sepeninggal istrinya pada 17 Pebruari 1934, Soetomo menjalani hari-hari seorang diri di rumahnya. Setelah sekian lama kondisi kesehatannya menurun drastis, Soetomo wafat di usia 50 tahunpada 29 Mei 1938 dan dimakamkan di area Gedung Nasional Indonesia (GNI), tepatnya berada di Jalan Bubutan No.85-87, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya.