Para Habaib Estetik

Para Habaib Estetik

mmu2020/01/17 12:56:52 WIB
Salah seorang habib muda, Husein Ja'far al Hadar, berkiprah di jalur dakwah digital (Ilustrasi: Edi Wahyono)

Sejumlah nama habaib berseliweran di ruang berita masyarakat Indonesia beberapa pekan ini. Mulai dari Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang dilantik sebagai anggota Wantimpres, Habib Jakfar Shodiq Alatas yang terjerat pasal penghinaan terhadap Wakil Presiden, Habib Husein Alatas yang tersangkut kasus asusila, hingga Habib Haddad Alwi Assegaf yang mengalami persekusi di Sukabumi, Jawa Barat. Habaib, jamak dari kata habib, memang tidak selalu bersewarna dalam perilaku. Meski mereka masih bersambung-darah kepada Nabi Muhammad, namun mereka juga dapat terangkat dan terjerahap layaknya manusia biasa pada umumnya.Di Indonesia, dalam percakapan tentang para habaib pasca Gerakan 212, nama Habib Muhammad Rizieq Shihab kerap terpaku pada kalimat pertama wicara. Tidak jarang, imajinasi tentang kehabiban atau perbincangan mengenai para habaib hari ini pun cenderung lekas terkerangkeng oleh ingatan tentang imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu. Bersahutan dengan gerakan pembangkangan politik dan kritik berlumur kata-kata pedas yang kerap ia lontarkan. Padahal, dalam anyaman sejarah bangsa Indonesia, ada catatan emas tentang para habaib yang telah menumpahkan kreativitas untuk kebudayaan estetika bangsa.Haddad Alwi (1966) adalah satu di antara para habaib estetik itu. Ia adalah pahlawan musikal masa remaja saya. Bait-bait salawat dan pepuji nabi yang membahana dari pita kaset album Cinta Rasul (1999) yang ia produksi sampai sekarang masih terus menemani kembara estetika harian saya. Kemasyhuran para pendekar seni-salawat hari ini, misalnya Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf (1961) dari Solo, Jawa Tengah hanya dimungkinkan berkat "kerja keras" Haddad Alwi beberapa tahun sebelumnya. Sang habib dari keluarga Assegaf itu telah menyalakan api cinta pada Tuhan, nabi, dan sesama ke sekujur jiwa saya yang lebih sering meremang ketimbang menerang.

Para PeloporArsip sejarah musik Indonesia mencatat bahwa Haddad Alwi bukanlah orang pertama dari trah habaib yang menerjunkan diri ke dalam kawah musikal negeri kepulauan ini. Jauh sebelumnya, sekira tahun 1930-an, Syech Albar (1908-1947) telah berjerih-keringat melalui orkes gambus. Pada 1937, Syech merekam sejumlah lagu padang pasir lewat album berjudul Zakhroetoel Hoesoen. Tidak berlebihan bila Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (2010) menyebut Syech sebagai satu di antara para pemrakarsa kelahiran musik dangdut di Indonesia.Rintisan musikal Syech Albar rupanya menginspirasi gerakan serupa di berbagai daerah. Di Jakarta, menjelang 1950, Orkes Harmonium pimpinan Habib SM Alaydroes menggeliat. Grup musik ini memainkan lagu-lagu Arab dan tango dengan memanfaatkan alat musik harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan kadang-kadang tamborin. Orkes gambus Al-Usyyaag juga muncul di Jakarta melalui tangan Husein Aidid (1913-1965) pada 1947. Habib dari marga Al-Aidid ini nantinya membentuk Orkes Melayu Kenangan.

Beberapa tahun kemudian, Umar Alatas hadir dengan Orkes Melayu Chandraleka. Pada 1968, Rhoma Irama yang waktu itu masih bernama Oma Irama bergabung dengan Umar Alatas sebagai penyanyi profesional. Raja dangdut itu ikut dalam proses rekaman album Pelita Hidup. Ia membawakan lagu Djelita Teruna dan Ingkar Djanji.Selain mereka, Bing Slamet melesat ke permukaan jagad estetika bangsa. Nama aslinya adalah Ahmad Syech Albar (1927-1974). Karena menggemari aktor Amerika, Bing Crosby, ia pun menyematkan "Bing Slamet" sebagai nama panggungnya. Oleh para analis musik dan sejarawan seni di Indonesia, Bing Slamet dijuluki seniman prolifik. Sebab ia tidak saja piawai bernyanyi dalam aneka mazhab, namun juga becus berakting dalam film, teater, dan terlebih lagi pentas lawak.

Klik untuk melihat komentar
Lihat komentar
Artikel Lainnya